Prospek Usaha Penangkapan Ikan dan Illegal Fishing

5614

Sektor maritim Indonesia ibarat raksasa yang sedang tidur. Pemerintahan Jokowi berupaya
membangunkannya dengan menjadikan sektor maritim sebagai prioritas utama pembangunan. Salah satu bisnis di sektor maritim yang cukup menjanjikan adalah perikanan tangkap. Bagaimana peluang dan strategi investasinya?

Dengan luas wilayah laut sebesar 5,4 juta km persegi dan panjang pantai mencapai 95.181 km, Indonesia memiliki potensi tangkapan ikan laut lestari mencapai 90 juta ton atau senilai hampir Rp3.000 triliun per tahun.

Dari potensi tersebut, yang bisa dimanfaatkan sejauh ini baru sekitar 5,9 juta ton atau senilai Rp70 triliun. Ini berarti tingkat pemanfaatan potensi perikanan tangkap di Indonesia baru sekitar 7 persen.

Kondisi ini menunjukkan bahwa peluang dan prospek usaha bidang penangkapan ikan laut masih sangat besar dan menjanjikan. Prospek yang cerah tersebut juga tercermin dari pertumbuhan bisnis perikanan tangkap yang terus berkembang.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi perikanan tangkap dalam lima tahun terakhir (2009-2013) rata-rata tumbuh sebesar empat persen.

Produksi hasil laut tersebut ikut mendorong pendapatan domestik bruto (PDB) sektor perikanan yang mencapai Rp291,8 triliun pada 2013.

Pergeseran

Seiring kemajuan teknologi dan globalisasi, terjadi pergeseran modus dan model bisnis perikanan tangkap di Indonesia.

Sepuluh tahun lalu, usaha penangkapan ikan di laut masih didominasi oleh para nelayan mandiri yang menggunakan perahu tradisional tanpa motor.

Namun, sejak 2007, jumlah perahu tanpa motor terus berkurang hingga akhirnya hanya tinggal 175.510 unit pada akhir 2013.

Kondisi ini terjadi karena menangkap ikan menggunakan perahu tanpa motor tidak lagi efektif. Daerah penangkapan ikan juga semakin jauh ke tengah laut, sehingga tidak mudah dijangkau oleh perahu tanpa motor.

Melihat kondisi ini, investor dan pemilik modal pun masuk ke bisnis perikanan tangkap. Mereka mendirikan perusahaan dan membangun armada penangkapan ikan dengan kapal yang lebih modern yakni kapal motor tempel dan kapal motor berdaya hingga ratusan gross ton.

Alhasil sejak 2007, jumlah perusahaan penangkapan terus bertambah dari 33 perusahaan menjadi 84 perusahaan pada 2013.

Jumlah kapal motor pun terus meningkat dari 154.846 unit pada tahun 2008 menjadi 226.573 pada 2013.

nelayan yang sebelumnya mandiri akhirnya bergabung menjadi karyawan perusahaan
penangkapan ikan. Mereka tidak lagi menangkap ikan menggunakan perahu tradisional melainkan dengan kapal modern.

Pergeseran pola penangkapan ikan tersebut juga berimbas pada alur penjualan ikan.
Saat nelayan mandiri masih dominan, hasil tangkapan ikan umumnya dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Namun, pola itu kini semakin jarang dilakukan.

Perusahaan penangkapan ikan lebih senang menjual langsung hasil tangkapannya ke pabrik pengolahan ikan yang menjadi mitranya. Bahkan, banyak juga perusahaan yang usahanya terintegrasi dari mulai penangkapan hingga pengolahan. Jadi, hasil tangkapan dari laut, diolah dan dipasarkan sendiri.

Dampaknya, jumlah hasil laut yang dijual ke TPI anjlok drastis dari 730.286 ton pada 2010 menjadi 452.581 ton pada 2013. Yang menggembirakan, meskipun tidak lagi mandiri, namun jumlah nelayan atau rumah tangga perikanan tangkap cenderung meningkat.

Meningkatnya produksi dan bertambahnya suntikan modal membuat perusahaan penangkapan ikan terus merekrut tenaga kerja.

Pada akhir 2013, jumlah rumah tangga perikanan tangkap mencapai 671.625 keluarga, meningkat dibandingkan tahun 2010 yang sebanyak 577.656 keluarga.

Peluang

Kinerja perusahaan penangkapan ikan pelagis besar seperti tuna dan tongkol makin kinclong karena harga ikan tuna di pasaran dunia terus meningkat.

Populasi tuna yang menyusut serta permintaan yang terus melonjak telah mengerek naik harga ikan tuna.

Volume ekspor tuna dan tongkol dari Indonesia ke negara konsumen utama seperti Jepang dan Amerika Serikat sebenarnya relatif stabil dari tahun ke tahun. Kalaupun ada peningkatan, jumlahnya tidak besar.

Pada tahun 2013, total volume ekspor tuna dan tongkol Indonesia mencapai 105.727 ton.
Namun, akibat harga tuna yang semakin mahal, nilai ekspornya meningkat tajam dari 162,12 juta dollar AS pada 2010 menjadi 299,88 juta dollar AS pada 2013.

Harga tuna yang semakin mahal ini tentu menjadi insentif bagi perusahaan penangkapan ikan.

Adapun di dalam negeri, penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta tentu menjadi pasar yang menggiurkan bagi produk-produk perikanan.

Tahun 2013, konsumsi ikan per kapita rakyat Indonesia mencapai 1 kg per bulan. Tingkat konsumsi ini tentu makin meningkat seiring berlanjutnya sosialisasi gerakan makan ikan dan maraknya industri pengolahan yang menghasilkan berbagai macam produk perikanan bernilai tambah.

Illegal fishing

Usaha penangkapan ikan semakin cerah karena pemerintah kini gencar memerangi pencurian ikan atau illegal fishing.

Dalam sejumlah pernyataannya, Presiden Jokowi betul-betul geram melihat kapal-kapal asing yang mencuri ikan di perairan nusantara. Presiden pun memerintahkan menenggelamkan kapal asing yang tertangkap basah mencuri ikan. Implementasinya sudah dimulai dengan pembakaran kapal asing di Perairan Natuna.

Sikap tegas Jokowi langsung disambar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan menyatakan perang terhadap illegal fishing yang marak di laut Indonesia.

Susi menegaskan tiada lagi toleransi untuk para pelaku illegal fishing. Sebab, akibat praktik itu, Indonesia dirugikan cukup besar.

Akibat illegal fishing, Indonesia yang memiliki panjang laut terbesar nomor dua di dunia, nilai ekspor hasil lautnya kalah dibanding negara lain seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Data Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) mengungkapkan, kerugian Indonesia akibat illegal fishing mencapai Rp30 triliun per tahun.

Namun, kata Susi, data itu masih kecil dibandingkan nilai sebenarnya. Susi menaksir, kerugian negara akibat illegal fishing bisa mencapai 20 miliar dolar AS atau Rp240 triliun per tahun.

Nilai itu, kata Susi didasarkan pada hitung-hitungan kasar. Sebagai contoh, Harga ikan yang paling murah misalkan ikan tongkol, mencapai 1 dollar AS per kg.

Di lautan nusantara diperkirakan ada sekitar 1.300 kapal dengan kapasitas 60-70 gross ton (GT). Satu kapal tersebut dapat membawa 60.000 kg ikan tongkol senilai 60.000 dollar AS untuk sekali berlayar.

Menurut Susi, berdasarkan info yang diterimanya, kapal asing dengan kapasitas 100 GT bisa meraup untung 2-2,5 juta dollar AS per tahun karena yang mereka tangkap bukan hanya ikan tongkol, tapi juga kerang, teripang dan lobster.

Untuk memenangkan perang dengan pelaku illegal fishing dan mengamankan teritori laut secara keseluruhan, kebijakan teranyar Presiden Jokowi adalah membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Bakamla diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut. Bakamla memiliki tugas pokok melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia.

Pembentukan Bakamla menandakan era baru sinergitas operasi keamanan laut yang didukung oleh Sistem Peringatan Dini dan Unit Penindakan Hukum yang terpadu.

Bakamla pada dasarnya adalah Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang ruang lingkup tugas dan wewenangnya diperluas.

Kendala

Komitmen pemerintahan Jokowi untuk memberantas illegal fishing tentu tak diragukan lagi. Namun masalahnya, untuk berperang dan mengalahkan musuh, tak cukup hanya dengan komitmen. Diperlukan juga alat dan perlengkapan yang memadai misalnya jumlah kapal patroli dan kemampuan pemerintah menyediakan bahan bakar minyak dalam jumlah besar.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Asep Burhanudin mengatakan selama ini proses penenggelaman kapal mengalami beberapa kendala dari segi peralatan dan keselamatan.

Jumlah kapal patroli AL juga tidak memadai jika dibandingkan luasnya lautan Indonesia yang harus diawasi. Selain itu, ketersediaan BBM juga kurang sehingga kapal patroli tidak bisa berlayar dalam jarak tempuh yang jauh.

Dalam proses penenggelaman kapal itu, faktor keselamatan para awak buah kapal (ABK) juga perlu dipertimbangkan mengingat jumlah ABK kapal asing bisa lebih banyak dibandingkan ABK kapal pengawas KKP.

Namun bagaimanapun, pengamanan laut dan pemberantasan illegal fishing oleh pemerintah telah berada di jalur yang tepat. Secara bertahap, kendala-kendala yang ada pasti akan diatasi.

Sejumlah pihak menilai, sikap tegas terhadap pelaku illegal fishing sudah tepat untuk mencegah terulangnya kasus yang sama. Sebab, hal ini akan membuat efek jera. Paling tidak nelayan negara lain seperti Malaysia tidak akan seenaknya lagi memasuki perairan Indonesia.

 

Abrial Athar, Pengamat Perikanan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here