Pembiayaan Blue Carbon Harus Jadi Prioritas Pemerintah

1218

JAKARTA, NMN – Ekosistem Blue Carbon yang didalamnya berupa ekosistem pesisir terutama mangrove, padang lamun dan kawasan rawa payau merupakan ekosistem penyerap serta penyimpan karbon alami dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki luas kawasan mangrove 3.2 juta hektare (ha) dan luas padang lamun kurang lebih 3 juta ha. Dengan luasan tersebut ekosistem Blue Carbon, Indonesia dapat menyimpan hingga 17% dari cadangan Blue Carbon dunia sehingga memiliki peranan yang sangat penting dalam mengurangi perubahan iklim.

Bagi Indonesia Blue carbon sangat berpotensi dalam mendukung program nasional penurunan emisi, ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, namun kompleksitas pengelolaan dan kapasitas pelaksanaannya masih memerlukan peningkatan di masa-masa mendatang.

Blue Carbon memiliki peran yang penting, dan proses inventarisasi GRK sudah harus membedakan antara ekosistem Blue Carbon dan ekosistem hutan daratan, agar Blue Carbon memilki tempat khusus dan perkiraan penyerapan emisi GRK dan pelaporan emisi GRK akan menjadi lebih akurat pada tingkat nasional.

Blue Carbon juga dapat dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk menciptakan nilai ekonomi melalui perdagangan carbon. Serta kita harus bersama-sama memastikan bahwa indeks kesehatan laut Indonesia dapat meningkat, saat ini indeks ada di angka 65 atau menempati ranking 137 dari 221 dan ke depan harapannya angka tersebut dapat meningkat hingga 76 pada tahun 2024.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Daniel Murdiyarso menyampaikan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem Blue Carbon sangat tinggi. Dirinya mencontohkan salah satunya adalah mangrove yang nilainya dapat mencapai lebih dari 90.000 Dolar Amerika per-ha. Nilai ini bukan hanya dari kemampuan mangrove dalam menyerap karbon, tetapi juga jasa lingkungan yang dapat diberikan seperti pencegah abrasi dan kenaikan tinggi muka air laut, industri perikanan, dan ekowisata.

“Ekosistem Blue Carbon menyediakan barang dan jasa lingkungan dengan spektrum yang lebar, karbon salah satunya dan itu sangat penting bagi Indonesia dan dunia. Kerangka peraturan dan tata kelola perlu disusun berdasarkan data dan informasi yang handal, dan mengarusutamakan Blue Carbon ini memerlukan political will yang kuat agar dapat mencapai tujuan agenda global dan nasional,” terang Prof. Daniel Murdiyarso.

Indonesia saat ini melakukan upaya pengurangan emisi dan ketahanan iklim. Hal ini berkaitan dengan upaya untuk mengimplementasikan Sustainable Development Goals (SDG). Salah satu tindakan prioritas untuk mencapai ketahanan iklim adalah program adaptasi-mitigasi dan strategi penanggulangan bencana yang komprehensif dalam menghadapi perubahan iklim.

Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai salah satu bentuk strategi penanggulangan bencana dalam menghadapi perubahan iklim dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK) tahun 2010 dan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC). ) pada tahun 2015 dengan menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 29% secara nasional dan 41% dengan upaya internasional pada tahun 2030.

Mangrove dan lamun merupakan kunci ekosistem pesisir yang menyimpan karbon alami (carbon sink) yang disebut Blue Carbon. Selain mangrove, padang lamun dan rawa asin memiliki fungsi yang sama dimana ketiga ekosistem ini dapat menyerap dan menyimpan karbon yang sangat besar dalam waktu yang sangat lama, bahkan lebih banyak dari hutan terestrial. Namun, peran vital ketiga ekosistem karbon biru ini belum banyak mendapat perhatian.

Oleh karena itu, upaya adaptasi dan mitigasi yang komprehensif berbasis karbon biru merupakan pertimbangan strategis untuk mencapai ketahanan iklim. Namun, ekosistem karbon biru belum masuk dalam NDC.

“Indonesia melalui Bappenas telah menginisiasi pengarusutamaan Karbon Biru dalam skema perencanaan pembangunan Indonesia, khususnya di bidang ekosistem pesisir dan laut, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024),” ujar Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf, M.Sc, Deputy for Maritime Affairs and Natural Resources at Bappenas.

Pemerintah Indonesia, kata Gellwynn, berencana untuk memasukkan ekosistem karbon biru sebagai salah satu sektor prioritas dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di bawah sektor FOLU (Forest and Other Land Use), dalam review dokumen NDC Indonesia selanjutnya yang dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pembiayaan kegiatan karbon biru harus menjadi salah satu prioritas pemerintah melalui beberapa mekanisme yang dapat mendukung pencapaian target NDC. Saat ini tidak ada banyak pilihan untuk membiayai konservasi karbon biru, yakni dengan melibatkan sejumlah pihak termasuk swasta dan lembaga finansial.

Pembangunan Karbon Biru Berkelanjutan harus mengedepankan upaya perlindungan dan kelestariannya dengan berbasis masyarakat. Guna mendukung upaya tersebut diperlukan mekanisme pembiayaan sehingga dapat berkontribusi terhadap pencapaian target NDC.

Saat ini ada beberapa opsi pembiayaan untuk kegiatan yang berkaitan dengan karbon biru selain dari APBN. Itu bagus, karena mengandalkan APBN saja tidak akan cukup untuk mencapai target NDC ini. Ke depan, pemerintah memastikan pembiayaan untuk keberlanjutan pembangunan Blue Carbon.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here