Potensi ekonomi maritim Indonesia seperti sektor perikanan dan perkapalan sangatlah besar. Sayangnya, kontribusi industri maritim terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sejauh ini belum signifikan. Kondisi itu terjadi akibat sejumlah masalah, salah satunya industri maritim tidak mendapat dukungan permodalan yang cukup, terutama dari perbankan.
Tak ada yang meragukan potensi Indonesia sebagai negara bahari. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut 5,4 juta km persegi dan panjang pantai mencapai 95.181 km. Jika dibentangkan di Eropa, maka wilayah Indonesia akan menutup wilayah Inggris hingga laut Kaspia dekat Iran.
Diapit samudra Hindia dan Samudra Pasific serta dianugrahi iklim tropis, perairan Indonesia
menyimpan beraneka ragam ikan dan biota laut dengan potensi tangkapan lestari mencapai 90 juta ton atau senilai hampir Rp3.000 triliun per tahun.
Begitu pula pada industri perkapalan. Dengan jumlah pulau mencapai 17.500 pulau dan total penduduk sebanyak 240 juta orang, kebutuhan angkutan laut antar pulau baik barang dan orang tentu sangat besar. Belum lagi kebutuhan kapal untuk ekspor-impor.
Namun, hingga kini potensi itu tetaplah menjadi potensi tanpa bisa termanfaatkan secara optimal. Justru bangsa lainlah yang mengambil potensi itu melalui pencurian ikan besar-besaran dan dominasi perdagangan laut.
Potensi yang tak termanfaatkan tersebut tampak dari minimnya kontribusi industri perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, produksi perikanan sepanjang 2013 tercatat Rp291,8 triliun atau berkontribusi hanya 3,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp9.084 triliun.
Perkembangan Produksi Sektor Perikanan
Itu terjadi karena dari potensi sebesar 90 juta ton, hasil tangkapan laut yang terealisasi hanya sekitar 5,9 juta ton atau senilai Rp70 triliun.
Sementara pada industri perkapalan, nilai produksi kapal hanya sekitar Rp10 triliun per tahun. Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh 250 industri galangan kapal pun hanya sekitar 26.000 orang.
Padahal, berdasarkan data Kementerian Pehubungan, hingga akhir 2013, terdapat 13.224 unit kapal niaga yang beroperasi di perairan Indonesia dengan nilai investasi diperkirakan mencapai Rp227,5 triliun.
Minimnya peran industri galangan kapal nasional juga terkonfirmasi dari Ikatan Perusahaan
Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) yang mencatat kurang dari 10
persen populasi kapal yang diproduksi di dalam negeri. Artinya, sebagian besar kapal niaga ternyata masih diimpor atau diproduksi di luar negeri.
Padahal, penerapan asas cabotage yang termaktub dalam Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2005 dimaksudkan untuk memberdayakan industri pelayaran nasional termasuk industri galangan kapal.
Bisa dibilang, Kebijakan asas cabotage sejauh ini hanya berhasil mengubah warna bendera, dari kapal berbendera asing menjadi kapal berbendera Indonesia. Kapasitas industri pelayaran dan galangan kapal nasional sebenarnya tidak meningkat signifikan. Sebab, Sebagian besar kapal sejatinya masih milik asing mengingat statusnya hanya disewakan kepada perusahaan pelayaran nasional.
Banyak kendala yang menyebabkan industri maritim tidak berjaya di negeri sendiri.
Pada industri galangan kapal misalnya, kebijakan bea masuk (BM) dinilai tidak berpihak. Ditjen Bea Cukai mengenakan BM 5-12,5 persen atas impor komponen kapal dan pajak pertambahan nilai. Kebijakan ini membuat biaya produksi kapal di dalam negeri membengkak sehingga tidak mampu bersaing dengan industri di luar negeri.
Kendala lain yang juga menohok industri maritim adalah kurangnya dukungan permodalan,
terutama dari perbankan. Akibat minimnya permodalan, industri perikanan dan perkapalan tak mampu meningkatkan kapasitas produksinya. Nelayan tak mampu membeli kapal yang lebih cepat dan besar untuk mencari ikan; perusahaan pengolahan ikan tak bisa membuat pabrik baru; perusahaan pelayaran tak mampu beli kapal niaga baru; dan perusahaan galangan tak cukup modal untuk membuat kapal baru.
Minimnya dukungan perbankan tampak dari nilai kredit yang disalurkan ke sektor perikanan. Berdasarkan data Bank Indonesia, Hingga November 2014, posisi kredit ke sektor perikanan hanya sebesar Rp7,46 triliun. Dibandingkan total kredit perbankan yang mencapai Rp3.596 triliun, porsi kredit perikanan hanya 0,2 persen.
Perkembangan Kredit Outstanding Sektor Perikanan
Kredit perikanan jauh lebih kecil dibandingkan sektor lain semisal pertanian yang mencapai Rp206 triliun atau industri pengolahan yang sebesar Rp638 triliun. Dukungan perbankan yang minim juga dialami industri pelayaran, galangan kapal, dan industri maritim lainnya.
Total kredit yang disalurkan ke bidang maritim tercatat hanya Rp67,33 triliun atau 1,85 persen dari total kredit yang disalurkan. Seorang bankir yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, ada sejumlah faktor yang membuat bank enggan menyalurkan kredit ke sektor maritim.
Pertama, sektor maritim dianggap berisiko besar. Hasil tangkapan nelayan tidak bisa diprediksi dan tidak stabil. Sementara industri galangan kapal kalah bersaing dengan industri di luar negeri.
Rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) sektor maritim memang tergolong tinggi, mencapai 14,19 persen. Angka tersebut jauh di atas angka NPL wajar yakni di bawah 5 persen.
Kedua, perbankan tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa risiko kredit maritim. Akibatnya, semua perusahaan yang bergerak di sektor maritim dinilai berisiko tinggi. Padahal, ada juga perusahaan yang sehat dan menghasilkan profit tinggi.
Karena berorientasi laba, Perbankan nasional juga cenderung lebih banyak menyalurkan kredit konsumtif ketimbang kredit produktif. Perbankan lebih senang memberi kredit pemilikan rumah (KPR) atau mobil ketimbang ke sektor maritim. Alhasil, Kredit konsumsi kini telah mencapai Rp 1001 triliun atau hampir sepertiga dari total kredit.
Kondisi tersebut tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Apalagi, pemerintahan Joko Widodo
menempatkan sektor maritim sebagai unggulan. Ke depan, implementasi pasar bebas juga akan semakin luas. Perusahaan-perusahaan nasional di bidang maritim bisa dengan mudah digilas perusahaan-perusahaan asing bermodal besar.
Karena itulah, pemerintah, industri maritim, dan perbankan harus duduk bersama mencari solusi. Salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah pemerintah mengalokasikan dana sebagai jaminan kredit melalui skema asuransi.
Dengan demikian, perbankan tak lagi khawatir menyalurkan kredit ke sektor perikanan karena pemerintahlah yang akan menanggung rugi jika terjadi kredit macet.
Seiring itu, pemerintah juga perlu proaktif meningkatkan kapasitas BUMN-BUMN di sektor
maritim. Artinya, terhadap BUMN-BUMN potensial, pemerintah bisa langsung menyuntik
tambahan modal. Nantinya, jika BUMN bersangkutan semakin besar dan menguntungkan, maka perbankan akan datang dengan sendirinya menawarkan kredit.
Strategi ini sepertinya akan diimplementasikan pemerintah. Dalam RAPBN-Perubahan 2015
yang kini tengah dibahas, pemerintah mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada 42 BUMN senilai Rp74,99 triliun.
Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp47,1 triliun akan diberikan kepada BUMN di sektor
infrastruktur dan maritim. Sejumlah BUMN bidang maritim yang mendapatkan suntikan modal antara lain PT Pal Indonesia sebesar Rp1,5 triliun, PT Perikanan Nusantara senilai Rp200 miliar, Perum Perikanan Indonesia Rp300 miliar, dan PT Djakarta Lloyd sebesar Rp350 miliar.
Selain itu ada PT Dok dan Perkapalan Surabaya Rp 200 miliar dan PT Dok dan Perkapalan
Kodja Bahari Rp900 miliar.
Langkah pemerintah ini patut diapresiasi karena menunjukkan komitmen kuat untuk memberdayakan sektor maritim. Dengan suntikan dana segara tersebut, BUMN sektor maritim diharapkan dapat menghela industri maritim nasional menjadi raja di negeri sendiri.
Penulis: Abrial Marta