Implementasi Sislognas Belum Efektif

565
Foto: Humas Laut

JAKARTA, NMN – Visi Logistik Indonesia 2025 Terwujudnya Sistem Logistik yang terintegrasi secara lokal, terhubung secara global untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesejahteraan rakyat (locally integrated, globally connected for national competitiveness and social welfare).

Terintegrasi Secara Lokal (Locally Integrated), diartikan bahwa pada tahun 2025 seluruh aktivitas logistik di Indonesia mulai dari tingkat pedesaan, perkotaan, sampai dengan antar wilayah dan antar pulau beroperasi secara efektif dan efisien dan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi secara nasional dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang akan membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia.

Dengan visi terintegrasi secara lokal ini akan mendorong terwujudnya ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan pemerataan antar daerah yang berkeadilan sehingga akan tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat dan akan menyatukan seluruh wilayah Indonesia sebagai negara maritim.

Terhubung Secara Global (Globally Connected) diartikan bahwa pada tahun 2025, Sistem Logistik Nasional akan terhubung dengan sistem logistik regional (ASEAN) dan global melalui Pelabuhan Hub Internasional (termasuk fasilitasi kepabeanan dan fasilitasi perdagangan) dan jaringan informasi “International Gateways”, dan jaringan keuangan agar pelaku dan penyedia jasa logistik nasional dapat bersaing di pasar global.

Integrasi secara lokal dan keterhubungan secara global dilakukan melalui integrasi dan efisiensi jaringan logistik yang terdiri atas jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan yang didukung oleh pelaku dan penyedia jasa logistik.

Dengan demikian jaringan sistem logistik dalam negeri dan keterhubungannya dengan jaringan logistik global akan menjadi kunci kesuksesan di era persaingan rantai pasok global (global supply chain), karena persaingan tidak hanya antar produk, antar perusahaan, namun juga antar jaringan logistik dan rantai pasok bahkan antar negara.

Selain itu, integrasi logistik secara lokal dan keterhubungan secara global akan dapat meningkatkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan perwujudan NKRI sebagai negara maritim.

Darurat Regulasi Logistik Nasional

Pengembangan Sistem Logistik Nasional bertumpu pada 6 (enam) faktor penggerak utama yang saling terkait, yaitu: Komoditas Penggerak Utama; Pelaku dan Penyedia Jasa Logistik; Infrastruktur Transportasi; Teknologi Informasi dan Komunikasi; Manajemen Sumber Daya Manusia; Regulasi dan Kebijakan.

Setijadi selaku Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) mengatakan pada saat ini, regulasi yang mengatur sektor logistik Indonesia adalah Perpres 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang ditetapkan pada 5 Maret 2012. Cetak Biru itu merupakan panduan dalam pengembangan logistik bagi para pemangku kepentingan terkait serta koordinasi kebijakan dan pengembangan sistem logistik nasional.

“Sektor logistik Indonesia sangat penting peranannya. Sebagai sektor yang bersifat multisektoral dan multidimensional, sektor logistik yang efisien sangat dibutuhkan dalam peningkatan daya saing produk dan komoditas nasional, serta kesejahteraan rakyat,” kata Setijadi.

Namun, implementasi Sislognas sebagai payung hukum sektor logistik yang dikeluarkan hampir 10 tahun lalu berjalan tidak efektif.

Dalam periode itu, pencapaian road map dan rencana aksi Sislognas rendah, serta tidak ada evaluasi atau pengawasan secara berkala. Bahkan, rencana aksi sislognas baru tersusun untuk tahap I (2011-2015), sedangkan rencana aksi tahap II dan III (2016-2025) hingga saat ini belum dirumuskan.

Tanpa cetak biru Sislognas yang efektif, program K/L dalam bidang logistik akan sulit direncanakan dan diimplementasikan secara sinergis dan optimal. Selain itu, belum ada tools evaluasi secara organisasional, sehingga implementasi Sislognas oleh kementerian/lembaga (K/L) terkait tidak dapat dievaluasi.

Tanpa regulasi yang efektif, berbagai isu dalam sektor logistik akan sulit teratasi, seperti biaya logistik yang tinggi, ketidakseimbangan volume muatan antar wilayah, kelangkaan komoditas tertentu, dan tumpang tindih regulasi.

Sektor logistik Indonesia masih belum efisien yang ditandai dengan biaya logistik yang tinggi. Selain itu, LPI (Logistics Performance Index) Indonesia lebih rendah daripada negara-negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2018, misalnya, LPI Indonesia pada peringkat 46, di bawah Singapore (peringkat 7), Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41).

Untuk pengembangan sistem logistik, termasuk perbaikan LPI itu, saat ini tidak ada K/L yang ditugaskan secara khusus dalam regulasi Sislognas. Koordinasi pelaksanaan Sislognas dilakukan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) 2011-2025 yang dibubarkan melalui Perpres 82/2020, namun fungsinya terkait koordinasi Sislognas belum dialihkan.

Tiga Rekomendasi SCI dalam Pengembangan Sistem Logistik

Pertama, pencabutan Perpres 26/2012 dan penetapan regulasi baru minimal dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) agar lebih kuat implementasinya. Penyesuaian harus dilakukan terhadap dinamika pembangunan, serta perkembangan teknologi dan pola bisnis global.

Penyesuaian itu untuk menghadapi berbagai tantangan pada saat ini dan masa depan dalam bentuk digitalisasi, sharing economy, internet of things, cloud logistics, dan blockchain. Penyesuaian harus dilakukan terhadap dinamika perencanaan pembangunan, termasuk mengintegrasikannya dengan RPJMN 2020-2024. Sislognas baru harus terintegrasi juga dengan program dan rencana pembangunan sektoral terbaru dari kementerian-kementerian terkait.

Kedua, pembentukan lembaga permanen sektor logistik untuk mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan perbaikan dan pengembangan Sislognas berjalan efektif.

Lembaga itu misalnya dalam bentuk Badan Logistik Nasional yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Keberadaan lembaga permanen itu diperlukan karena aspek koordinasi dalam pengaturan sistem logistik yang multisektoral itu sangat penting tapi rumit.

Ketiga, pembentukan UU Logistik sebagai regulasi yang kuat karena salah satu faktor penyebab implementasi Sislognas tidak efektif adalah masalah hirarki regulasinya. UU Logistik itu juga penting karena subsektor-subsektor transportasi sebagai bagian dari sistem logistik justru diatur dalam bentuk UU, yaitu UU No. 23/2007 tentang Perkeretaapian, UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU RI No. 1/2009 tentang Penerbangan, dan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

UU Logistik ini bersifat memaksa dan memberikan kepastian hukum. Dengan regulasi dalam bentuk UU, sektor logistik akan diatur dan diintegrasikan sehingga kekhawatiran tumpang tindih regulasi diharapkan tidak akan terjadi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here