JAKARTA, NMN – Letak Geografis Indonesia yang berada di antara belahan bumi bagian utara dan selatan memberikan dampak petensi bencana, mulai dari banjir hingga gelombang tinggi. Bahkan, potensi bencana di Indonesia berlangsung sepanjang tahun.
Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Guswanto menjelaskan bahwa saat ini cuaca dan iklim yang ekstrem lebih intens terjadi di belahan bumi dunia akibat dari perubahan iklim yang tentunya juga berasosiasi erat dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan degradasi lingkungan.
“Di Indonesia, potensi bencana ada di sepanjang tahun, akibat terjadi cuaca dan iklim yang ekstrem,” kata Guswanto, Kamis (24/3).
Guswanto memaparkan, pada bulan Desember hingga Februari musim hujan, dimana biasanya terjadi bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan juga gelombang tinggi.
Kemudian, pada bulan Maret hingga Mei, biasanya terjadi puting beliung, petir, hujan es, hujan lebat sporadis disertai kilat, petir, dan angin kencang. Periode ini masuk dalam periode pancaroba.
“Di Sumatera Selatan, saat ini sudah muncul titik api atau hotspot, padahal belum memasuki musim kemarau,” ungkap Guswanto.
Pada periode Juni hingga Agustus, biasanya terjadi bencana kekeringan, karhutla (kebakaran hutan dan lahan) serta gelombang tinggi.
Lalu, pada bulan september hingga November banyak terjadi puting beliung, petir, jujan es, hujan lebat sporadis disertai kilat, petir, dan angin kencang. Periode ini juga disebut musim pancaroba.
Dengan demikian, kata Guswanto, potensi bencana mengintai sepanjang tahun, termasuk di dalamnya potensi bencana akibat adanya gelombang tinggi.
Ini yang perlu menjadi kunci. Di dalam memahami bagaimana cuaca ekstrem itu berperilaku, sehingga kita bisa memberikan mitigasinya. Indonesia itu sangat strategis, ada di utara dan juga ada bagian di selatan. Di tengah-tengah memiliki garis khatulistiwa. Kalau kia di selatan, biasanya di belahan bumi selatan itu pada periode November sampai April terjadi musim siklon. Sedangkan di belahan bumi utara itu biasanya terjadi siklon meningkatnya di bulan Juli hingga November,” tuturnya.
Apa dampaknya terhadap Indonesia? Guswanto mengatakan bahwa dampaknya tentu ada dan sangat berpengaruh, dan bisa diartikan ke negatif. Karena dengan adanyana bibit siklon tropis, biasanya suatu daerah itu kalau tidak hujan lebat, pasti akan terkena angin kencang.
“Seperti saat ini, bulan Maret, rata-rata di belahan bumi selatan, seperti beberapa hari yang lalu yakni tanggal 21 Maret 2022 ada siklon tropis yang membawa dampak terhadap beberapa wilayah seperti Sumatera Selatan, dan Banten, walaupun siklon ini jaraknya sekitar sekitar 1.600 km dari wilayah Indonesia. Hal ini tentu perlu diwaspadai. Siklon tropis merupakan fenomena alam yang sulit dilakukan mitigasinya, karena skalanya sangat besar,” kata Guswanto.
Sepanjang tahun 2021, BNPB mencatat setidaknya ada 5.402 bencana. Paling banyak tejadi adalah bencana bankjir dan cuaca ekstrem masing masing adalah 1.794 dan 1.577. Wilayah yang paling banyak terjadi bencana adalah Jawa Barat yakni ada 1.358 bencana.
Sebelumnya, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati turut serta sebagai pembicara dalam Perayaan Puncak World Meteorological Day 2022, menyampaikan betapa pentingnya pengetahuan peringatan dini dalam perubahan iklim.
“Dampak perubahan iklim global khusus nya di Indonesia dimana letak geografis yang berada di antara dua samudera yaitu Hindia dan Pasifik dan dua benua yaitu Asia dan Australia serta memiliki topografi yang kompleks menjadikan Indonesia rentan terhadap bencana multi hidrometeorologi. Jadi kami terus melakukan upaya peningkatan sistem peringatan dini untuk mengantisipasi bencana yang terjadi di Indonesia,” ungkap Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.
Ia pun menjabarkan upaya BMKG agar sistem peringatan dini bencana lebih optimal melalui sinergi pentahelix. Kolaborasi antara pemerintah, komunitas, akademisi, sektor usaha, dan awak media diperlukan untuk memastikan sistem peringatan dini dapat diterima di semua sektor.
“Tantangan sebenarnya adalah bagaimana memastikan bahwa pesan peringatan dini dapat diterima hingga lapisan paling bawah. Bukan hanya itu, pesan peringatan dini juga harus dapat dimengerti dan ditanggapi dengan tepat. Ini merupakan pekerjaan rumah untuk bekerja lebih keras agar upaya tersebut makin efektif,” kata Dwikorita.