JAKARTA, NMN – Cuaca, air, dan iklim yang ekstrim menjadi lebih sering terjadi dan intens sebagai akibat dari perubahan iklim. Peringatan dini serta tindakan dini menjadi hal penting untuk meminimalisir dampak cuaca, air, maupun iklim yang ekstrim.
Prakiraan cuaca yang akan terjadi tidak lagi cukup. Cuaca panas bisa berlangsung di suatu wilayah selama berbulan-bulan. Di wilayah lain, hujan justru mengguyur tanpa henti. Cuaca menjadi sulit untuk diprediksi.
Bulan di mana biasanya kemarau malah masih turun hujan, begitu juga dengan sebaliknya. Ketidakpastian cuaca ini menjadi masalah serius yang harus diupayakan bersama.
“Oleh karena itu, Hari Meteorologi Sedunia pada tanggal 23 Maret 2022 mengangkat tema Peringatan Dini dan Tindakan Dini, dan menyoroti pentingnya informasi hidrometeorologi dan iklim untuk pengurangan risiko bencana,” kata Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO) Prof. Petteri Taalas.
Menurut Taalas, perubahan iklim sudah sangat terlihat melalui cuaca yang lebih ekstrem di seluruh belahan dunia. “Kami melihat gelombang panas yang lebih intens dan kekeringan serta kebakaran hutan. Kami memiliki lebih banyak uap air di atmosfer, yang menyebabkan curah hujan ekstrem dan banjir mematikan. lautan memicu badai tropis yang lebih kuat dan naiknya permukaan laut meningkatkan dampaknya,” ujar Taalas.
Ditambahkannya, tren negatif ini akan terus berlanjut. Sistem Peringatan Dini adalah tindakan adaptasi yang terbukti dan efektif, yang menyelamatkan nyawa dan mata pencaharian.
“Inisiatif baru yang besar tentang peringatan dini yang penting untuk adaptasi perubahan iklim harus dilakukan,” ujarya.
Indonesia Butuh Sembilan Satelit
Laporan WMO tentang statistik bencana selama 50 tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 11.000 bencana terkait dengan cuaca, iklim, dan bahaya terkait air antara tahun 1970 dan 2019, hampir sama dengan satu bencana per hari. Ada 2 juta kematian – atau 115 per hari.
Jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Dan biaya ekonomi melonjak. Tren itu diperkirakan akan terus berlanjut.
Di sisi lain, ada kesenjangan besar dalam pengamatan cuaca, terutama di Negara-negara Tertinggal dan Negara-negara Berkembang Pulau Kecil. Kesenjangan ini menimbulkan risiko terhadap keakuratan peringatan dini secara lokal dan global.
Indonesia membutuhkan sembilan satelit untuk bisa meningkatkan deteksi dini bencana secara akurat, cepat dan tepat.
“Kita memerlukan 9 satelit untuk melakukan orbital dan tanpa jeda. Kalau hanya satu satelit kita butuh 100 menit jeda sehingga tidak bisa dipakai untuk peringatan dini bencana. Itu sudah direncanakan ada 9 satelit mengorbit pada 2024 dan itu tidak ada jeda,” kata Deputi Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jaringan Komunikasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Muhamad Sadly.
Sadly, Indonesia belum memiliki satelit operasional indera jarak jauh (inderaja) yang melakukan pemantauan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas.
Sangat sulit memantau Indonesia dengan melakukan patroli dengan pesawat terbang atau piranti terbang nir-awak secara terus menerus di wilayah yang sangat luas karena akan menguras sumber daya manusia dan biaya.
Indonesia, menurut Sadly, memiliki ancaman bencana kompleks. Misalnya banjir, longsor, erupsi, gempa dan tsunami.
Dalam melakukan pencegahan dan mitigasi multi-bencana tersebut tidak bisa ditangani dengan cara biasa harus ada terobosan, salah satunya lewat satelit pemantauan.
Menurut Sadly salah satu teknologi yang perlu kita akslerasi dan diimplementasikan di Indonesia adalah bagaimana memiliki satelit inderaja untuk kebencanaan.
“Hanya dengan satelit segala kendala telekomunikasi dapat diatasi sehingga mitigasi bencana dapat dilakukan secara seksama sehingga mampu menekan munculnya korban. Saat bencana terjadi, baik itu gempa bumi, tsunami, dan bencana hidrometeorologi lainnya, sistem telekomunikasi elektrik itu akan kolaps atau mati,” pungkas Sadly.