Nelayan Pati Mulai Melaut ke Arafura

1766

Setelah beralih dari cantrang ke alat tangkap ramah lingkungan, sejumlah kapal penangkap ikan dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mulai melaut ke wilayah timur Indonesia, antara lain ke Laut Arafura dekat Kepulauan Aru, Maluku. Meski modal operasional hampir empat kali lipat, keuntungan yang didapat para nelayan setimpal.

Pemilik kapal asalh Pati, Hadi Sutrisno (39), yang dihubungi dari Semarang, Minggu (4/3), mengatakan, dirinya telah beralih alat tangkap ke alat tangkap pancing, gillnet, dan purse seine, sejak awal 2017. Dia mulai mengalihkan kawasan tangkap ke perairan Kepulauan Aru. Karena jaraknya jauh, awak kapal pulang ke Pati menggunakan pesawat.

“Dari fishing ground, sekitar dua bulan sekali kapal ke pulau, Nakhoda dan para ABK (anak buah kapal) pulang dua sampai empat bulan sekali menggunakan pesawat dari Dobo (ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru) ke Jakarta atau Surabaya. Adapun ikan yang ditangkap dikirim dengan kapal tampung ke Surabaya, Probolinggo, Juwana, dan Jakarta,” kata Hadi.

Hadi yang memiliki lima kapal menambahkan, jumlah awak kapal yang terdiri dari nakhoda dan ABK berbeda-beda setiap kapal. Untuk kapal dengan alat tangkap pancing dan gillnet berkisar 15-20 orang. Untuk kapal purse seine berkisar 45-50 orang.

Menurut Hadi, sistem itu berbeda dengan kapal cantrang. Saat melaut hingga ke Selat Makassar, misalnya, kapal cantrang pulang sebulan sekali ke Pelabuhan Perikanan Pantai Bajomulyo, Juwana, Pati.

“Kini, dengan jarak lebih jauh, kapal pulang enam sampai dua belas bulan sekali untuk perpanjangan izin,” ujarnya.

Hadi merinci, kalau dengan alat tangkap cantrang, modal operasional yang dibutuhkan Rp150 juta-Rp200 juta. Karena jarak tempuh yang lebih jauh dan alat tangkap memakai jenis pancing, purse seine, serta gillnet, biaya operasional yang dibutuhkan empat kali lebih mahal, sekitar Rp600 juta.

Ikan yang didapat di sekitar Laut Arafura, 70 persen merupakan ikan sisik, seperti ikan kerisi, kerapu, dan kakap merah. “Sekali mengirim ke Jawa berkisar 30-40 ton, dengan rata-rata harga penjualan Rp35.000-Rp40.000 per kilogram,” ucap Hadi. Artinya, pendapatan kotor sekali kirim hasil tangkapan ikan sebesar Rp1,05 miliar hingga Rp1,6 miliar.

Meski demikian, Hadi menuturkan, hasil tangkapan ikan di Laut Arafura fluktuatif. Hal itu bergantung pada kondisi cuaca, jenis alat tangkap, serta kekompakan para ABK dan nakhoda saat melaut.

Semakin modern

Jumat (2/ 3), Direktur Jenderal Perikana Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja, dalam kunjungan kerja di Pati, mengatakan, sebagian kapal dengan alat tangkap ramah lingkungan sudah pindah ke sekitar Laut Arafura, yakni di Wilayah Pengelolaan Perikanan 718.

Merutu Sjarief, di Dobo, terdapat sekitar 1.200 kapal dari sejumlah daerah di Pulau Jawa, seperti Indramayu (Jawa Barat), Pati, Tegal (Jateng), dan Probolinggo (Jawa Timur). “Mereka menangkap ikan seperti kakap merah dan ikan-ikan lain. Ikan di sana luar biasa banyaknya,” kata Sjarief.

Dia mengatakan, apabila para nelayan pulang kampung, kapal mereka ditinggalkan. Jika dibawa pulang kampung, jaraknya terlalu jauh dan waktu tempuh terlalu lama. Adapun jarak Dobo ke kawasan pencarian ikan sekitar 30 kilometer, ditempuh dalam waktu sekitar 4 jam. Sementara ikan-ikan hasil tangkapan dikirim ke Jawa dengan kapal angkut.

Sjarief menambahkan, nelayan yang berangkat untuk melaut dengan pesawat menuju Dobo menunjukkan sejumlah nelayan kini semakin modern.

“Ini proses transformasi luar biasa dari nelayan. Ikan di sana sangat banyak dan sekarang tugas pemerintah meyakinkan ada kapal angkut (ikan). Kami akan memperbanyak jumlah kapal angkut di sana,” katanya.

Siswo Purnomo, pemilik kapal asal Pati, mengatakan, dalam proses mengganti kapalnya dari cantrang ke pancing atau purse seine, biayanya sekitar Rp3,5 miliar. Selain membeli alat tangkap, dia juga tengah merenovasi fasilitas penyimpanan ikan di kapal, dari balok es menjadi pembeku (freezer).

Menurut Siswo, kapal cantrang umumnya bisa beroperasi dengan modal Rp90 juta. “Dengan purse seine, misalnya, biaya sekali melaut Rp700 juta. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh harus lebih baik. Kalau tidak, kami merugi,” katanya.

 

Sumber : Kompas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here